Kedua terdakwa korupsi pada fasilitas Kredit di Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Medan saat menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan. (Foto: Istimewa)
ARN24.NEWS – Dua terdakwa korupsi pada fasilitas Kredit di Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Medan dituntut bervariasi dalam sidang di Ruang Cakra 9 Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jumat (14/3/2025).
Pertama, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut terdakwa Fernando HP. Munthe selaku Pegawai Sementara (Pgs) Senior Relationship Manager (SRM) PT BNI Sentra Kredit Menengah (SKM) Medan dituntut 4 tahun penjara.
Dalam tuntutannya, JPU menilai Fernando telah memenuhi unsur melakukan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas kredit kepada PT Prima Jaya Lestari Utama (PJLU) sebesar Rp 17,7 miliar sebagaimana dakwaan subsider.
Dakwaan subsider yang dimaksud tersebut, yaitu Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Menuntut, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Fernando HP. Munthe oleh karena itu dengan pidana penjara selama empat tahun," ucap JPU Putri Marlina Sari.
Selain itu, jaksa juga menuntut pria berusia 55 tahun itu untuk membayar denda sebesar Rp 500 juta. Dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti atau subsider 3 bulan kurungan.
Warga Jalan Mistar Gang Johar No. 14, Kelurahan Sei Putih Barat, Kecamatan Medan Petisah, itu tak dituntut membayar uang pengganti, karena dinilai tidak ada menikmati kerugian keuangan negara.
Menurut JPU, keadaan yang memberatkan, perbuatan Fernando tidak mengindahkan program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
"Keadaan yang meringankan, terdakwa tidak menikmati hasil perbuatan korupsi yang dilakukannya, terdakwa bersikap kooperatif dan sopan selama berada dalam persidangan, serta terdakwa merupakan tulang punggung keluarga," kata Putri.
Sementara, terdakwa Tan Andyono selaku Direktur PT PJLU dituntut 7,5 tahun penjara. JPU pada Kejati Sumut, Putri Marlina Sari, menilai bahwa perbuatan pria berusia 69 tahun itu telah memenuhi unsur melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp 17,7 miliar sebagaimana dakwaan subsider.
Adapun dakwaan subsider tersebut, yakni Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Menuntut, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Tan Andyono oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 tahun dan 6 bulan (7,5 tahun)," ujar JPU Putri.
Warga Jalan Kota Baru II No. 22, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah, itu juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp 750 juta. Dengan ketentuan jika denda tidak dibayar, maka diganti atau subsider 3 bulan kurungan.
Tak hanya itu, Andyono juga dituntut dengan hukuman tambahan berupa pembebanan UP kerugian keuangan negara yang telah dinikmatinya sebanyak Rp 9,5 miliar.
"Jumlah tersebut merupakan berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan. Untuk UP yang ditambah kepada Tan Andyono adalah sejumlah utang pokok yang tidak dibayarkan oleh Tan Andyono sebesar Rp 17,7 miliar dikurangkan dengan biaya taksasi PT PJLU yang masih berada dalam penguasaan BNI sebesar Rp 8,2 miliar. Sehingga jumlahnya sebesar Rp 9,5 miliar," kata Putri.
Lanjut JPU, dengan ketentuan apabila paling lama 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau inkrah terdakwa tidak membayar UP, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi UP tersebut.
"Dalam hal terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar UP, maka dihukum dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan," ujarnya.
Kata jaksa, hal-hal yang memberatkan, perbuatan Andyono tidak mengindahkan program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan Andyono tidak menyesali perbuatannya.
"Kemudian hal-hal yang meringankan, terdakwa sopan selama berada dalam persidangan," ucap Putri.
Setelah mendengarkan tuntutan, majelis hakim diketuai Sulhanuddin menunda dan kembali membuka persidangan pada Selasa (18/3/2025) mendatang dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari para terdakwa.
Sebelumnya dalam dakwaan JPU diterangkan, bahwa terdakwa Fernando menawarkan pinjaman kredit modal usaha kepada terdakwa Tan Andyono untuk modal kerja. Salah satu jaminan kredit yang diajukan oleh PT PJLU merupakan Pabrik Kelapa Sawit kapasitas 45 ton/jam, berikut sarana perlengkapannya
Dalam prosesnya, terdakwa Fernando sengaja tidak melakukan analisa terhadap PT PJLU, seharusnya PT PJLU tidak layak diberikan kredit. Oleh analis kredit justru menyetujui permohonan Direktur PT PJLU yang membuat permohonan pengajuan pinjaman tidak sesuai dengan nilai agunan yang diajukan.
Berdasarkan perhitungan audit independen, bahwa nilai kredit yang dikucurkan kepada PT PJLU sebesar Rp 65 Miliar, yang terindikasi sebagai peristiwa tindak pidana korupsi dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 36.932.813.935.
Menurut jaksa, dengan tidak dilakukannya analisa oleh Fernando selaku Analis Kredit terhadap kemampuan PT. PJLU mengakibatkan PT. PJLU tidak melunasi kewajibannya pada tahun 2020 dan berakhir dengan dilelangnya jaminan PT. PJLU berupa PMKS dengan harga jauh di bawah nilai taksasi yang ditetapkan oleh Fernando pada awal pemberian kredit. (sh)