Raden Nuh penasehat hukum Bambang Pardede. (Foto:Istimewa) |
Tudingan itu disampaikan penasehat hukum (PH) Bambang, Raden Nuh kepada wartawan, Kamis (22/8/2024). Ia menyebut kliennya tidak bersalah. Sebab, proses penyidikan yang dilakukan Kejati Sumut tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada, sehingga cacat yuridis.
"Ini penyidikannya sudah dimulai dari 22 Februari 2024, lalu 22 Juli 2024 klien kami ditetapkan tersangka artinya setelah 150 hari, sudah basi ini dan tidak sesuai ketentuan Peraturan Jaksa Agung Nomor: PERJA-039/A/JA/10/2010 tentang Tata kelola administrasi dan teknis penanganan perkara pidana khusus, sudah enggak benar ini. Jadi, dasar penyidikannya saja sudah cacat yuridis, ini terlalu dipaksakan," ucapnya.
Sehingga, dicetuskan Raden, kriminalisasi yang dilakukan terhadap kliennya tersebut merupakan sebuah fakta, bukan omong kosong belaka.
"Kriminalisasi ini tidak dugaan, kalau yang namanya kriminalisasi itu sudah fakta. Motifnya ini sudah jelas ada dugaan kepentingan pribadi. Tanpa ada kerugian negarakan tidak ada perkara korupsi. Kemudian, sudah diminta berkali-kali 2 alat bukti permulaan sebagaimana undang-undang, penyidik tidak bisa menunjukkannya," cetusnya.
Tidak adanya kerugian keuangan negara, kata Raden, itu dibuktikan dengan tidak pernah adanya pemeriksaan atau temuan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Hal tersebut berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI No. 81/LHP/VIII.MDN/12/2021 tanggal 28 Desember 2021 yang menunjukkan tidak ada temuan kerugian keuangan negara dalam proyek ini.
"Jadi kami menolak, karena waktu saya minta alat buktinya, mereka pun nggak bisa menunjukkannya, malah katanya nanti saja di persidangan. Kami juga minta penyidik buktikan apa perbuatan melawan hukum klien kami, juga enggak bisa ditunjukkannya. Apa dasar perkaranya, tidak bisa juga ditunjukkan," terangnya.
Bahkan, kata Raden, pihaknya keberatan dengan Kejati Sumut saat melakukan Tahap II (penyerahan tersangka dan barang bukti) karena tidak adanya jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kami tadi mendampingi beliau dalam tahap II, tetapi kami keberatan. Karena tahap II ini menurut Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), penyerahannya wajib dari Jaksa Penyidik Kejati Sumut kepada JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tahap penuntutannya, tapi anehnya ini tidak. Keterangan Putri Marlina Sari penyidik bilang "kami ga pernah pakai JPU KPK, biasanya seperti ini, diserahkan ke sesama jaksa penuntut umum di Sumut,” jelasnya.
Raden pun mengatakan bahwa perkara ini mau dilimpahkan oleh Kejati Sumut ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Toba Samosir (Tobasa).
"Terus ini mau dilimpahkan ke Kejari Tobasa, kok dilimpahkan? Terus mau disidangkan di mana? Inikan katanya korupsi, bukan pembunuhan," ujarnya.
Pihaknya pun mengklaim telah bertanya kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait perkara ini. Namun, kata dia, perkara kliennya ini tidak pernah ada dan tidak pernah sampai ke Kejaksaan Agung di Jakarta.
"Ini namanya penyalahgunaan kewenangan, ini namanya kesemena-menaan, abuse of power. Ada orang bilang sekarang ini di Sumut brutal, ini dia contohnya," sebutnya.
Atas dasar itu, Raden pun menegaskan bahwa pihaknya telah melaporkan Kajati Sumut, Idianto, ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) terkait pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.
"Ini perlu atensi khusus Jaksa Agung agar mewajibkan Kejati ini menegakkan hukum dengan cara yang dibenarkan oleh hukum, harus berdasarkan hukum, tidak boleh dengan semena-mena, tidak boleh dengan penyalahgunaan kekuasaan, sesuai dengan UU, dan hormati hak asasi manusia," harapnya.
Secara terpisah, Kajati Sumut Idianto melalui Koordinator Bidang Intelijen Kejati Sumut Yos A Tarigan mengatakan bahwa semua proses yang dilakukan tim penyidik Pidsus Kejati Sumut telah sesuai prosedur.
“Tidak benar seperti itu. Untuk semua proses yang dilakukan tim penyidik telah sesuai dengan sop dan semua terukur. Jadi tidak ada kesalahan apapun untuk ini,” kata Yos.
Pihaknya menyebut, penetapan dan penahanan merupakan kewenangan penyidik. Jadi terlalu jauh dibahas hal tersebut.
Ia mengatakan sebelumnya penyidik telah menemukan dua alat bukti. Soal prapid tentunya sah-sah saja karena itu hak tersangka.
“Perlu disampaikan bahwa di persidangan akan disampaikan semua fakta alat bukti oleh tim jaksa penuntut umum. Jadi kita tegaskan tidak benar ada kriminalisasi,” sebut Yos. (rfn)