Notification

×

Iklan

Soal Pemberian Izin Tambang pada Ormas Keagamaan, YLBHI: Agenda Pemecahbelahan Masyarakat Sipil

Senin, 10 Juni 2024 | 23:42 WIB Last Updated 2024-06-10T16:42:39Z

Aksi sindiran masyarakat terhadap kebijakan baru pemerintah terhadap pertambangan. (Foto: Istimewa)

ARN24.NEWS
– Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia  (YLBHI) melontarkan kritik keras kepada pemerintah soal penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No 25 tahun 2024 tentang pemberian izin pertambangan kepada Ormas Keagamaan. 


Direktur YLBHI M Isnur dalam keterangan pers diterima wartawan, Senin (10/6/2024), juga mengkritik mekanisme pembahasan PP yang dinilai secara tertutup dan terburu-buru. PP ini kembali memperburuk proses legislasi di Indonesia.


"Apalagi PP ini sarat dengan kepentingan politik dan merupakan turunan dari UU Cipta Kerja yang terbukti melanggar konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi. Sehingga hal ini membahayakan demokrasi karena mengabaikan partisipasi bermakna (meaningfull participation) dari rakyat selaku subjek utama pengelolaan sumber daya alam (SDA)," kata Isnur.


YLBHI juga melihat aturan legalisasi tambang bagi ormas keagamaan ini adalah jebakan dan upaya pembungkaman yang dilakukan pemerintah dan oligarki.


"Ini adalah upaya melanggengkan kekuasaan dengan menimbang unsur-unsur yang menguntungkan bagi kedua belah pihak," katanya.


YLBHI juga memandang ini adalah agenda pemecah belahan masyarakat sipil di tengah semakin otoriternya pemerintah. 


Kebijakan ini menurut YLBHI adalah bagian upaya Presiden Joko Widodo melanggengkan neo-otoritarianisme. Selain itu, PP 25/2024 merupakan modus praktek represif untuk menyusutkan ruang sipil atas kritik pembangunan melalui pendekatan kooptasi dan adu domba warga.


"Ini adalah bentuk politisasi keagamaan, Ormas keagamaan akan berhadapan visi a vis dengan masyarakat, dan Ormas jadi instrumen negara untuk melakukan represi terhadap rakyat," katanya.


Kata Isnur, PP ini juga bepotensi ini, pada pelanggaran HAM. Negara, lanjut Isnur, harusnya pasif bukannya aktif dengan memenuhi hak Ormas.


"Dalam konteks negara memberikan atau memenuhi [keperluan ormas] akan berpotensi terjadinya diskriminasi," katanya.


Terpisah,Wakil Direktur LBH Medan Muhammad Ali Nafiah menambahkan, berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Medan-YLBHI, hampir semua wilayah pertambangan berlumuran konflik, perusakan lingkungan, dan perampasan ruang hidup masyarakat. Selama ini praktek pertambangan tak pernah berpihak pada rakyat dan lingkungan.


"Bahkan kegiatan sektor pertambangan sebagai penyebab konflik SDA karena karakternya yang merusak alam dan merampas sumber-sumber penghidupan warga," sambung Wakil Direktur LBH Medan ini.


Sebut saja yang terjadi dalam pertambangan di Wadas, batubara di Pulau Kalimantan dan Nikel di Pulau Sulawesi dan Maluku telah menyebabkan pencemaran air laut, air tanah, dan udara yang menimbulkan hak-hak kesehatan dan berkurangnya sumber pangan warga setempat.


"Dalam proses perizinan, perusahaan tambang kerap menggunakan cara kotor dan tanpa ada persetujuan masyarakat. Jikapun narasinya ormas keagamaan akan bekerja sama dengan perusahaan. Maka permasalahannya adalah selama ini tidak ada perusahaan tambang yang mengedepankan pemenuhan HAM dan prinsip demokrasi. Sehingga ormas juga akan menjadi bagian dari pelanggaran HAM," katanya.


"Kami mendesak pemerintahan Jokowi untuk menghentikan praktik buruk legislasi (fast track legislation) yang merusak tatanan hukum, demokrasi dan melanggar konstitusi. Mendesak Pemerintahan Jokowi untuk mencabut PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Mengingatkan kepada Ormas Keagamaan agar tidak terlibat sebagai bagian dari pelanggar HAM di wilayah pertambangan," tegasnya. (sh)