Notification

×

Iklan

Simbol Kesejateraan dan Kemakmuran, Daging Megang di Bireuen Tembus Rp 180 Ribu/Kg

Minggu, 16 Juni 2024 | 19:53 WIB Last Updated 2024-06-16T12:53:46Z

ARN24.NEWS --
Harga daging Meugang menjelang hari raya idul adha yang dipasarkan di Bireuen, Minggu (16/6/2024) mencapai Rp 180 ribu perkilogram yang yang bertahan sampai siang hari yang intinya bertahan seperti harga daging Meugang pada hari raya Idul Fitri.

Seorang penjual daging meugang, Sofyan Agani  kepada media ini, menyampaikan bahwa harga daging pada periode meugang ini mengalami peningkatan penjualan Rp 180 ribu perkilogran. 

"Mungkin di karenakan para penjual daging sedikit berkurang karena mengingat Hari Raya Idul Adha yang biasanya banyak daging kurban. Mungkin mereka trauma dengan kejadian meugang yang lalu," sebutnya seraya tersenyum.

Para penjual daging di sekitaran kota Bireuen mengakui adanya peningkatan harga tersebut, meskipu  diakui harga tersebut hampir sama dengan harga daging meugang hari raya Idul Fitri beberapa waktu lalu.

Pada pelaksanaan meugang hari pertama, Sabtu (15/6/2024) para penjual bertahan berjualan sampai tengah malam, dengan harga tetap bertahan Rp 180 ribu per kilogram. Kendati pada siang harinya sepi dari pembeli, namun tetap memasang harga Rp 180 ribu per kilogram.

Ketua Lapak, M Yusuf Ahmad mengakui relatif sedikit yang membeli daging, sehingga sampai malam hari harga tetap bertahan Rp 180 ribu perkilogram. "Untuk meugang pihaknya  telah mempersiapkan lapak meugang, Minggu (16/6/2024) telah menyiapkan sebanuak 150-160 lapak untuk pedagang. Tapi itu tidak pasti ada kalanya calon pedagang membatalkan prnjualannya," ujar Keuchik Suh.

Berdasarkan data yang diterima, tradisi Meugang di Aceh sudah ada sejak zaman dahulu kala, di mana masyarakat membeli dan menyajikan daging untuk keluarga dan kerabat menjelang Hari Raya. 

Terlansir ada lima fakta unik dan filosofi meugang dalam tradisi di Aceh. Yaitu Meugang merupakan tradisi yang telah ada sejak zaman Kesultanan Aceh. Tradisi tersebut  awalnya dilakukan oleh Sultan yang membagikan daging kepada rakyatnya sebagai bentuk perhatian dan rasa syukur. Hingga saat inii, tradisi ini terus dilestarikan oleh masyarakat Aceh.

Selanjutnya, momentum Kebersamaan: Meugang bukan sekadar membeli dan memasak daging, tetapi juga menjadi momen kebersamaan keluarga. Seluruh anggota keluarga biasanya berkumpul untuk memasak dan menyantap daging bersama, mempererat tali silaturahmi dan kebersamaan.

Selain itu, Simbol Kesejahteraan: Filosofi meugang juga melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran. Mampu membeli dan menyajikan daging dianggap sebagai tanda bahwa seseorang dalam keadaan baik secara ekonomi. Ini menjadi kesempatan untuk berbagi rezeki dengan tetangga dan orang yang kurang mampu.

Kemudian, persiapan menyambut Hari Raya: Meugang dilakukan menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha sebagai bentuk persiapan spiritual dan fisik. Menyantap daging dianggap memberi kekuatan dan kebahagiaan dalam menyambut hari raya dengan penuh sukacita.

Terakhir, tradisi yang Sakral: Meskipun terlihat seperti rutinitas, meugang memiliki makna sakral. Banyak masyarakat yang percaya bahwa menyantap daging pada hari meugang akan mendatangkan berkah dan rezeki berlimpah. Oleh karena itu, banyak yang rela mengeluarkan uang lebih untuk memastikan dapat menikmati daging pada hari tersebut.

Tradisi meugang di Aceh adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang memperkaya budaya dan nilai-nilai sosial masyarakat setempat. (maimun/dian)