Ilustrasi hewan kurban. (Foto: detikcom)
ARN24.NEWS –Setiap Hari Raya Idul Adha, masyarakat yang mempunyai rezeki lebih bakal melaksanakan kurban. Ada beberapa hewan nantinya bisa disembelih seperti domba, sapi, kerbau atau unta.
Banyak keutamaan yang bisa didapatkan ketika melaksanakan kurban, seperti memperoleh pahala dan ridha dari Allah SWT serta berbagi kebahagiaan dengan mereka yang membutuhkan.
Akan tetapi, bagaimana hukumnya jika berkurban untuk orang yang sudah meninggal? Berikut rangkum penjelasannya.
Apakah boleh Kurban untuk Orang yang Sudah Meninggal?
Dikutip dari laman NU Online, hukum berkurban adalah sunnah muakad. Namun, untuk Rasulullah SAW hukumnya adalah wajib. Ini berdasarkan beberapa hadits, salah satunya diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
Artinya: "Aku diperintahkan untuk berkurban, dan itu adalah sunah bagi kalian." (HR At-Tirmidzi).
Kesunahan berkurban ditujukan kepada umat muslim yang merdeka, baligh, berakal sehat, dan mampu.
وَالْاُضْحِيَة- ....(سُنَّةٌ) مُؤَكَّدَةٌ فِيحَقِّنَاعَلَى الْكِفَايَةِ إِنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِذَا فَعَلَهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ كَفَى عَنِ الْجَمِيعِ وَإِلَّا فَسُنَّةُ عَيْنٍ وَالْمُخَاطَبُ بِهَا الْمُسْلِمُ اَلْحُرُّ اَلْبَالِغُ اَلْعَاقِلُ اَلْمُسْتَطِيعُ
Artinya: "Dan berkurban... (adalah sunah) muakad yang mencukupi seluruh anggota keluarga jika ada lebih dari satu anggota dalam rumah tersebut. Jika salah seorang dari anggota rumah melaksanakannya, itu sudah cukup untuk semuanya. Jika tidak, maka itu adalah sunah individu. Orang yang diserukan untuk berkurban adalah Muslim yang merdeka, baligh, berakal, dan mampu." (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, al-Iqna' fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja', Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat, tt, juz, 2, halaman: 588).
Namun, kerap kali menjadi pertanyaan bagi umat Islam menjelang Hari Raya Idul Adha. Apakah boleh berkurban untuk orang ataupun keluarga yang sudah meninggal?
Dilansir dari laman resmi Badan Amil Zakat (BAZNAS), Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dengan tegas menyebutkan dalam kitab Minhaj ath-Thalibin, bahwa tidak ada kurban untuk orang yang telah meninggal dunia, kecuali jika mereka semasa hidupnya pernah berwasiat untuk itu.
وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا
Artinya: "Tidak sah berkurban untuk orang lain tanpa izinnya, dan juga tidak sah berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia jika dia tidak berwasiat untuk itu." (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1425 H/2005 M, halaman: 321).
Berdasarkan laman NU Online, terdapat pandangan lain yang menyatakan bahwa berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia adalah boleh, seperti yang dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi. Alasan di balik pandangan ini adalah karena kurban termasuk dalam kategori sedekah.
Memberikan sedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia dianggap sah dan bisa memberikan manfaat serta pahala kepada mereka. Pandangan ini didasarkan pada kesepakatan para ulama bahwa pahala sedekah dapat sampai kepada orang yang telah meninggal.
لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ بِغَيْرِإذْنِهِ لَمْ يَقَعْ عَنْهُ (وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ
"Jika seseorang menyembelih hewan kurban atas nama orang lain tanpa izinnya, tidak akan dihapuskan dosa bagi orang itu. Mengenai penyembelihan hewan kurban untuk orang yang telah meninggal dunia, Abu al-Hasan al-Abbadi mengizinkannya karena dianggap sebagai bentuk sedekah, dan sedekah sah dilakukan untuk orang yang sudah meninggal dunia dan memberikan manfaat kepada mereka, sesuai kesepakatan ulama." (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 8, halaman: 406).
Meskipun pandangan yang pertama dianggap lebih sahih menurut mazhab Syafii dan diikuti oleh mayoritas ulama Syafii, pandangan yang kedua didukung oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Meskipun tidak menjadi pandangan mayoritas dalam mazhab Syafii itu sendiri.
Hal ini seperti yang tercatat dalam kitab al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.
إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ
Artinya: "Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum meninggalkan wasiat untuk berkurban, jika ahli waris atau orang lain mengurbani hewan kurban atas nama orang yang telah meninggal tersebut dari harta mereka sendiri, mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali mengizinkannya. Namun, menurut mazhab Maliki, hal ini boleh dilakukan tetapi dianggap makruh. Mereka berpendapat bahwa kematian tidak menghalangi seseorang yang telah meninggal untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui sedekah dan ibadah haji." (Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, Bairut-Dar as-Salasil, juz, 5, halaman: 106-107). (dts/sh)