Notification

×

Iklan

Sastrawan Lekra/PKI Jelang Wafat Minta Jenazahnya Diurus Secara Islam

Rabu, 07 Juni 2023 | 11:42 WIB Last Updated 2023-06-07T04:42:29Z

ARN24.NEWS --
Namanya Utuy Tatang Sontani. Ia pernah aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi mantel PKI yang bergerak dalam bidang kebudayaan. Saat berada dalam pelarian di China, Utuy menulis sebuah karya berjudul “Di Bawah Langit Tak Berbintang.”  Utuy dan karyanya ini menjadi perbincangan.

Apakah ia seorang Komunis tulen, atau hanya seorang seniman yang terjebak propaganda tokoh-tokoh PKI yang menjadi sahabat dekatnya? Atau ada faktor lain? Sebagai seorang yang cenderung memiliki sifat individualis, kata Ajip Rosidi dalam pengantar buku ini, sangat mengherankan jika Utuy Tatang Sontani aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). 

“Bagaimana mungkin pengarang yang dalam karya-karyanya begitu individualistis, menjadi aktifis organisasi kebudayaan yang berdasarkan paham Marxisme-Leninisme yang menentang individualisme?” tulis Ajip.

Ajip menceritakan, pada tahun 1957 saat Lekra mengadakan Kongres di Solo, Utuy mendapat telegram dari lembaga tersebut yang berisi permohonan kesediaannya menjadi pengurus Lekra. Utuy yang melihat banyak sahabatnya aktif di Lekra, seperti Hendra Gunawan dan Boejoeng Saleh Sastradipoera (belakang taubat dari Komunis), kemudian agak tertarik untuk bergabung. 

Apalagi, ia juga mempunyai kedekatan secara pribadi dengan tokoh PKI, D.N Aidit, sehingga menurutnya akan mudah bekerjasama dalam organisasi. Tetapi, karena agak ragu, maka ia mendatangi Ajip Rosidi untuk meminta saran terkait telegram tersebut. Ajip lalu mengatakan, “soalnya bukan bisa kerjasama atau tidak dengan orang-orang yang ada di sana, melainkan sikap kita terhadap falsafah dasar organisasi itu. Bagaimana sikap kita terhadap Komunisme? 

Bagaimana sikap kita terhadap realisme sosialis yang menjadi pegangang Lekra?” Utuy pun, saat itu, kata Ajip, menolak tawaran Lekra. Tetapi dua tahun kemudian, Ajip melihat dalam surat kabar, nama Utuy tercantum sebagai pengurus Lekra. Ia cukup kaget.

Ajip yang lama tak bersua dengan Utuy karena terpisah jarak, kemudian bertandang ke rumah sahabatnya itu di Jatinegara. Utuy bercerita, bangunan rumahnya ada yang roboh, kemudian diperbaiki oleh Hendra Gunawan dan dijadikan tempat persembunyiannya karena bertengkar dengan Njoto, tokoh PKI juga.

Perjalanan selanjutnya, Utuy makin aktif di Lekra, mengajar, memberikan ceramah umum, dan membuat karya-karya sastera dan pentas drama. Menjelang  G30 S/PKI, Utuy berangkat ke China untuk berobat karena penyakit lever. Keberangkatan Utuy ke China karena rekomendasi dari tokoh PKI D.N Aidit

Setelah terjadinya Gestapu, maka Utuy tak bisa kembali ke Tanah Air. Perjalanan hidup selanjutnya, ia menjadi eksil, berpindah-pindah negara. Ia pernah hidup di Belanda, kemudian akhirnya tinggal di Moskwa, Uni Soviet, sampai akhirnya terbaring sakit dan meninggal dunia.

Karya Utuy yang berjudul “Di Bawah Langit Tak Berbintang” ini merupakan buah tangannya yang menceritakan tentang orang-orang Indonesia yang berada di China atas undangan pemerintah setempat, namun tak bisa pulang ke Tanah Air karena meletusnya Gestapu PKI.

Buku ini menceritakan pengalamannya bersama orang-orang Indonesia tersebut, dan menceritakan tentang bagaimana sikapnya selama di China terkait dengan Partai Komunis yang ada di sana. Dalam tulisan di buku itu, sikap Utuy  justru banyak bertentangan dengan pimpinan Partai Komunis di China. Misalnya, ia tak mau diperintah untuk menghafal ucapan-ucapan tokoh Komunis China, Mao Zhe Dhong.

Utuy juga bercerita, saat berangkat ke China, ia baru enam bulan menjadi anggota PKI, bahkan dalam keterangan lain ia mengatakan baru jadi calon anggota. Sikap inilah, yang menurut Ajip Rosidi sebagai sikap indivualis;

“Utuy memang seorang individualis yang pernah terlibat dalam kegiatan Lekra hanya karena dia terjerat oleh kepandaian orang-orang PKI menarik para seniman dan pengarang yang tidak tahu politik, masuk ke dalam strateginya…”

Saat Utuy terbaring sakit di Moskwa, menurut keterangan pelukis Kuslan Budiman yang membantunya sehari-hari, sebagaimana diceritakan oleh Ajip Rosidi dalam buku ini, Utuy berkali-kali berpesan agar jika ia meninggal, jenazahnya diurus dengan cara Islam. “Biar bagaimana, saya ini orang Islam dan kakek saya haji…” ujarnya.

Atas permohonan Kuslan Budiman yang menyampaikan wasiat Utuy kepada pejabat terkait setempat agar jenazah Utuy diurus secara Islam, maka jenazah sastrawan tersebut akhirnya diizinkan untuk diurus secara Islam. (hdy/nt)