ARN24.NEWS - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengumumkan Bupati Kepulauan Meranti, Riau, Muhammad Adil sebagai tersangka dugaan korupsi penerimaan fee jasa travel umroh hingga menyuap pemeriksa BPK, Jumat (7/4/2023).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengumumkan Bupati Kepulauan Meranti, Riau, Muhammad Adil sebagai tersangka penerima dan pemberi suap.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, perkara ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di sejumlah tempat di Riau dan Jakarta.
Setelah melakukan pendalaman dan menemukan bukti permulaan yang cukup, KPK kemudian menetapkan tiga orang tersangka.
“KPK menetapkan tiga orang tersangka sebagai berikut, Bupati Kepulauan Meranti periode 2021 sampai dengan 2024 (Muhammad Adil); Fitria Nengsih, Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti, dan M Fahmi Aressa, Pemeriksa Muda BPK Perwakilan Riau,” kata Alex dalam konferensi pers di KPK, Jumat (27/4/2023).
Alex mengatakan, terdapat tiga klaster dugaan korupsi yang dilakukan Adil.
Pertama, tersangka dugaan korupsi penerimaan fee jasa travel umroh.
Lalu, dia diduga memungut setoran dari pada satuan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) setempat.
Selanjutnya, Adil diduga menyuap tim Ketua Tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau, M. Fahmi Aressa agar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Riau mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP).
Dalam kasus travel umrah, Adil diduga menerima uang Rp 1,4 miliar dari PT Tanur Muthmainnah melalui Fitria.
Sementara itu, untuk kasus pemungutan setoran dari SKPD, hal itu diduga bersumber dari pemotongan uang persediaan (UP) dan ganti uang persediaan (GUP). Besarannya sekitar 5 persen hingga 10 persen bagi setiap SKPD.
“Masing-masing SKPD yang kemudian dikondisikan seolah-olah adalah utang pada Adil,” ujar Alex.
Selanjutnya, Adil juga diduga menyuap Fahmi dengan uang sekitar Rp 1,1 miliar terkait pemeriksaan keuangan Pemkab Kepulauan Meranti.
Atas ketiga perkara ini, KPK menetapkan Adil sebagai tersangka suap. Ia disangka melanggar Pasal huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ia juga disangka sebagai pemberi suap dan disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian, Fahmi sebagai tersangka penerima suap disangka Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (kmp/ans)