AS menyoroti sejumlah dugaan pelanggaran HAM di Indonesia, seperti proses TWK KPK, laporan Luhut dan Moeldoko terhadap aktivis, serta represi digital. (Foto: CNNIndonesia.com)
ARN24.NEWS -- Dalam Laporan HAM Indonesia 2021 yang tertuang di situs resmi Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Indonesia, AS menyoroti sejumlah dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Ada beberapa dugaan pelanggaran HAM yang disoroti, seperti dari penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan (TWK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pelanggaran kode etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
Terkait laporan ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD tampak tidak ambil pusing. Menurutnya, jumlah pelanggaran HAM di Indonesia sejatinya lebih rendah ketimbang AS.
"Kalau soal keluhan dari masyarakat kita punya catatan AS justru lebih banyak dilaporkan Special Procedures Mandate Holders (SPMH)," ungkap Mahfud, Jumat (16/4/2022).
Berdasarkan catatannya, Indonesia dilaporkan melanggar HAM oleh berbagai elemen masyarakat sebanyak 19 kali pada 2018-2021. Sedangkan AS dilaporkan 76 kali dalam periode yang sama.
Dilansir dari CNNIndonesia.com, Sabtu, 16 April 2022, berikut beberapa dugaan pelanggaran HAM di Indonesia yang disoroti AS.
1. TWK KPK dan Kasus Lili Pintauli
AS menyoroti masalah TWK KPK yang mengeliminasi 75 pegawai, termasuk penyidik Novel Baswedan. Tes ini merupakan bagian proses transisi mengubah status staf di lembaga anti rasuah menjadi pegawai negeri.
Dari tes tersebut, 75 pegawai gagal dengan 57 pegawai di antaranya terpental dari KPK. Sejumlah pihak menduga ada upaya menyingkirkan beberapa penyidik melalui tes tersebut.
Selain TWK, laporan HAM dari AS juga menyoroti kesalahan etik dari Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar terkait kasus korupsi Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial.
"Dewan memutuskan Siregar memiliki kontak yang tidak pantas dengan subjek investigasi untuk keuntungan pribadinya sendiri dan memberlakukan pengurangan gaji satu tahun, 40 persen untuk Siregar atas pelanggaran tersebut," tulis laporan tersebut.
2. Korupsi Edhy Prabowo dan Jualiari Batubara
Masalah lain yang jadi sorotan AS adalah korupsi yang dilakukan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.
Edhy Prabowo dinyatakan bersalah karena menerima suap dari pengusaha dan menyalahgunakan wewenangnya untuk mempercepat izin ekspor larva lobster.
Mahkamah Agung kemudian memberi hukuman penjara lima tahun, denda Rp400 juta, dan dilarang menduduki jabatan publik selama tiga tahun setelah masa hukumannya berakhir.
Sementara Juliari Batubara melakukan korupsi dana bantuan sosial dan dinyatakan bersalah menerima suap senilai Rp20,8 miliar terkait program bantuan pangan pemerintah untuk pandemi Covid-19.
Pengadilan menghukum Juliari penjara 12 tahun, ganti rugi senilai Rp14,6 miliar, denda Rp500 juta, dan dilarang mencalonkan diri untuk jabatan publik selama empat tahun setelah akhir masa hukuman.
3. Kasus Luhut dan Moeldoko
AS juga menyoroti laporan pencemaran nama baik dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko ke sejumlah pihak.
Luhut melaporkan Haris Azhar dan Fatia usai keduanya menuding bahwa Luhut memiliki konflik kepentingan ekonomi dalam polemik di Papua. Namun, Luhut membantah tudingan tersebut.
"Pengacara dan juru bicara Panjaitan membantah tuduhan para aktivis dan menyatakan mereka tidak memiliki dasar faktual untuk mengklaim Panjaitan memiliki konflik kepentingan di Papua."
"Hingga akhir tahun, Badan Reserse Kriminal sedang menyelidiki pengaduan tersebut setelah upaya untuk mengatur sesi mediasi antara para pihak terhenti," terang laporan tersebut.
4. Kekerasan Jurnalis di Indonesia
Dugaan pelanggaran HAM lain terkait temuan kekerasan yang diterima sejumlah jurnalis di Indonesia oleh berbagai pihak, dari pejabat hingga warga sipil pada Januari-Agustus 2021.
"Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melaporkan 24 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang meliputi doxing, penyerangan fisik, dan intimidasi dan ancaman verbal yang dilakukan oleh berbagai aktor, termasuk pejabat pemerintah, polisi dan aparat keamanan, anggota massa organisasi, dan masyarakat umum," jelas laporan tersebut.
Selain itu, AS juga memperhatikan soal kebebasan berekspresi lewat media di Indonesia. Salah satunya lewat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"Melarang program televisi memiliki konten lesbian, gay, biseksual, transgender, atau queer. Pada bulan Juni komisi mengeluarkan daftar 42 lagu berbahasa Inggris yang dilarang dimainkan sebelum jam 10 malam karena konten mereka. Termasuk dalam daftar adalah lagu-lagu Bruno Mars, Ariana Grande, Maroon 5, dan Busta Rhymes," ungkap laporan.
5. Pelanggaran terhadap Masyarakat Adat
Dalam laporan tersebut, AS menilai ada peningkatan ketegangan antara pemerintah dan masyarakat adat ketika masyarakat adat ingin mengakses hak atas tanah tradisionalnya.
AS menyebut pemerintah gagal mencegah perusahaan yang seringkali berkolusi dengan aparat keamanan untuk merambah tanah masyarakat adat.
"Pejabat pemerintah pusat dan daerah juga diduga menerima suap dari perusahaan pertambangan dan perkebunan sebagai imbalan atas akses tanah dengan mengorbankan masyarakat adat," bunyi laporan tersebut.
Tak berhenti sampai disitu, laporan itu menyebutkan kegiatan pertambangan dan penebangan ilegal kerap menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan hukum yang signifikan bagi masyarakat adat.
Salah satu LSM melaporkan hanya 93 mil persegi dari 38.610 mil persegi yang diusulkan telah diberikan kepada kelompok adat setempat pada Januari 2021. Namun, perusahaan besar dan pemerintah terus menggusur individu dari tanah leluhur masyarakat adat tersebut.
6. Represi Digital
AS menduga ada represi digital, termasuk doxing hingga pembatasan internet yang dilakukan pemerintah Indonesia. Dugaan ini mereferensi temuan LSM SAFEnet yang mencurigai pemerintah membatasi layanan internet empat kali di Papua dan Papua Barat pada 2020.
Hasilnya layanan internet di wilayah itu tidak dapat digunakan secara efektif.
Pembatasan ini dilakukan menyusul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Juni 2020, yang menyatakan otoritas melebihi kewenangan dalam membatasi layanan internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019. (cnn/rn)