Notification

×

Iklan

Komunitas La Sape di Kongo, Biar Hidup Susah Asal Gaya

Kamis, 14 April 2022 | 22:04 WIB Last Updated 2022-04-14T15:04:23Z
Para pengikut La Sape di Kongo yang mengandalkan barang mewah walau hidup pas-pasan. 

ARN24.NEWS --
Pernah dengar istilah La Sape? La Sape adalah sebuah subkultur dan gaya hidup yang berasal dari Republik Kongo di mana pengikutnya adalah para pencinta fesyen yang rela hidup susah asal bisa tampil fashionable.
 
La Sape sendiri merupakan singkatan dari Société des ambianceurs et des personnes elegantes atau Society of Atmosphere-setters and Elegant People. Orang-orang yang menganut gaya hidup ini disebut sapeurs (atau sapeuses bagi perempuan). 

Menurut Tariq Zaidi, penulis buku Sapeurs: Ladies and Gentlemen of the Congo, seorang Sapeur rela menabung selama bertahun-tahun demi mengumpulkan uang hingga US$ 2.000 atau sekitar Rp 28 juta yang kemudian digunakan untuk membeli sebuah jas trendi rancangan desainer ternama. 

Anggota La Sape tak sudi pakai barang palsu. Dengan penghasilan yang pas-pasan, mereka menabung sedikit demi sedikit sampai memiliki cukup uang untuk membeli setelan jas yang mereka idam-idamkan. 

"Mereka lebih suka menghabiskan US$ 100-200 untuk membeli kemeja daripada menabung untuk membeli rumah atau mobil atau sepeda motor," kata Zaidi, dalam sebuah wawancara dengan Vogue Scandinavia, dikutip Rabu (13/4/2022).

Prioritas mereka bukan kestabilan ekonomi, tapi tampil trendi dan kalau bisa menjadi trend-setter di komunitasnya. Para Sapeurs juga sering bertukar pakaian. Kalau ada satu orang memiliki dasi Chanel dan yang lain kemeja Dior, mereka dapat bertukar atau meminjam pakaian satu sama lain secara gratis.

La Sape menjadi gerakan yang terus berkembang, di mana para kaum muda menggunakan fesyen sebagai cara untuk menavigasi perjalanan bangsa mereka, dari negara berkembang menjadi negara kosmopolitan yang penuh harapan di masa depan.

Meski pun budaya La Sape secara tradisional diturunkan melalui garis laki-laki, banyak wanita Kongo baru-baru ini mulai mengenakan setelan desainer dan menjadi Sapeus. 

Menurut Zaidi, La Sape sudah dianggap seperti 'agama' oleh banyak pengikutnya. Mereka tidak perlu memiliki motivasi khusus untuk menjadi Sapeur atau Sapeus.

"Saya mendengar dari beberapa Sapeurs juga bahwa ini adalah gaya hidup: beberapa orang menyukai sepak bola, yang lain menyukai Sape. Ada bar dan klub khusus Sapeur di setiap distrik, dan ada pengelompokan Sapeur di lingkungan sekitar. Ada juga kompetisi yang bersahabat, yang mendorong Sapeurs untuk tampil dengan desain yang lebih menarik dan unik," paparnya. (cnbc/nt)