ARN24.NEWS -- Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, konflik antara Rusia-Ukraina saat ini harus dipandang sebagai perang supremasi, bukan lagi sekedar proxy, tetapi perang antar negara adidaya, yakni antara Rusia dengan Amerika Serikat (AS) dan Eropa, sementara Ukraina menjadi korban (collateral damage).
"Kalau negara adidaya yang berperang, maka tidak ada aturan lagi, tidak ada yang bisa mengatur mereka. PBB akan mengalami disfungsi, termasuk Dewan Keamanan PBB," kata Anis Matta dalam Gelora Talk bertajuk 'Perang Rusia Vs Ukraina, Apa Dampaknya pada Peta Geopolitik Dunia?'," Rabu (2/2/2022).
Diskusi yang digelar secara daring ini, menghadirkan narasumber Pakar Hukum Internasional Prof Hikmahanto Juwana, mantan Duta Besar Indonesia untuk Australia dan China Prof Imron Cotan, serta mantan Dubes Indonesia untuk Ukraina Prof Yuddy Chrisnandi. Juga dihadiri Duta Besar Ukraina untuk Indonesia Vasyl Harmianin.
Anis Matta mengatakan, perang ini akan mendekati titik ledak yang lebih besar, sehingga hal ini perlu diantisipasi Indonesia, karena cepat atau lambat Indonesia bisa terseret dampaknya.
Karenanya, Partai Gelora ingin mendorong Indonesia sebagai kekuatan 5 besar dunia, supaya tidak hanya menjadi korban (collateral damage).
Menurut Anis Matta, dunia saat ini akan menantikan tatanan dunia baru di tengah krisis berlarut, dimulai dari pandemi Covid-19 hingga perang Rusia Vs Ukraina, yang akan berujung pada konflik berlarut secara global.
"Sekarang kita sedang menantikan 'tatanan dunia baru', dan pemenanglah yang akan menentukan aturan," katanya.
Pembentukan proses tatanan dunia baru ini, berbeda dengan tatanan dunia lama yang dibentuk oleh pemenang Perang Dunia II. Pembentukannya akan ditentukan oleh proses rasional masyarakat global, karena dunia semakin terintegrasi.
Anis Matta menilai kekuatan AS dan Eropa saat ini semakin melemah seperti yang terlihat dari pidato Presiden AS Joe Biden dan para pemimpin Uni Eropa sebelumnya. Kelemahan AS dan Eropa, disadari betul oleh Presiden Rusia Vladimir Putin. Makanya, Putin telah melakukan kalkulasi secara matang sehingga memiliki keberanian.
"Sekarang kita berpikir kepentingan Indonesia, yang lebih bagus mencoba membuat cerita bagi sejarah masa depan kita sendiri," kata Anis Matta.
Indonesia bisa mencoba membangun satu kekuatan baru di tengah konflik global , dengan politik bebas aktif seperti yang telah digagas founding fathers bangsa Indonesia. Perang Rusia Vs Ukraina, kata Anis Matta, bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk membuat satu peta jalan (road map) sejarah baru bagi dunia.
Sebab, kita sedang menghadapi konflik berlarut yang akan melemahkan semua negara.
"Perang Rusia Vs Ukraina seperti gong yang mengatakan, Selamat Tinggal Tatanan Dunia Lama dan Selamat Datang Tatanan Dunia Baru," tegas Anis Matta.
Pakar Hukum Internasional Prof Hikmawanto Juwana menyayangkan sikap Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam memandang konflik Rusia Vs Ukraina. Kemenlu dinilai cenderung menyalahkan Rusia sebagai negara agresor telah menganeksasi Ukraina.
Sementara Presiden Jokowi mengatakan, perang harus dihentikan tanpa menyalahkan Rusia dan Ukraina, serta meminta konflik diselesaikan secara damai, dan tidak membahayakan pada keamanan dan perdamaian internasional.
Artinya, Indonesia harus menjadi fasilitator, yang bisa memberikan solusi bagi konflik.
"Kita harus fokus pada rakyat, karena rakyat tidak boleh menderita akibat perang di kedua negara," kata Hikmawanto sambil mengingatkan, agar Indonesia tidak melihat konflik Rusia Vs Ukraina sebagai konflik antara pemerintah pusat (PBB) dan pemerintah daerah (Rusia-Ukraina).
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Australia dan China Prof Imron Cotan berharap Indonesia bisa mendorong penyelesaian konflik Rusia Vs Ukraina melalui jalur diplomasi atau perundingan antara kedua belah pihak.
"Meski tidak yakin, Indonesia memiliki power untuk memberikan solusi kedua belah pihak dalam diplomasi, tetapi langkah-langkah itu tetap harus ditawarkan dan kita bisa menjadi tuan rumah negosiasi," kata Imron Cotan.
Menurutnya, keberadaan PBB terutama Dewan Keamanan saat ini perlu dilakukan reformasi, karena kerap dijadikan upaya untuk menghambat solusi damai atas konflik di suatu negara atau digunakan sebagai alat negara tertentu melalui hak veto lima negara tetap DK PBB.
Mantan Dubes Indonesia untuk Ukraina Prof Yuddy Chrisnandi meminta Indonesia untuk mengimplementasikan kebijakan politik bebas aktif, sebagai negara yang ditunjuk sebagai Presidensi G20 Tahun 2022 dan pemimpin ASEAN. (sh)